AWAL PERKEMBANGAN PERS DULU & REFORMASI PERS
SKARANG
Nama : rudi setiawan
Kelas : XII-IPS
SMA 06 mukomuko
Kata
Pengantar
Assalamualaikum Warohmatullahi
Wabarokatuh.
Puji dan
Syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya,
sehingga saya dapat menyelesaikan makalahl ini. Penyusunan makalah ini pun saya
susun untuk memenuhi salah satu tugas mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
dari Ibu Meri Azwita.Makalah ini merupakan penjelasan mengenai peranan kaum
pers di Indonesia, yang meskipun sering menguraikontroversi, namun
keberadaannya sangat dibutuhkan dalam perkembangan informasi di Indonesia.Saya
berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi yangmembacanya. Demikian kata
pembuka dari saya, mohon maaf apabila dalam penyusunan makalah ini terdapat kekurangan
atau kesalahan.
Wassalamualaikum
Warahmatullahi Wabarakatuh.
LATAR
BELAKANG
Keberadaan kaum pers di Indonesia, baik buruknya selalu tetapmenjadi
kelompok yang memiliki peran yang cukup besar baginegara ini. Sepak terjang
kaum pers acap kali menjadi hal yangcontroversial di dunia informasi dan
seringkali pula pihak persmenjadi korban atas kejelasan bukti yang mereka
ungkapkanmengenai tokoh-tokoh informan. Kendati demikian, tujuan merekabukan
cuma sekadar untuk memperoleh keuntungan uang. Mediamasa di samping sebagai
alat penyampai berita kepada parapembacanya dan menambah pengetahuan, juga
punya peranpenting dalam menyuarakan isi hati pemerintah, kelompoktertentu, dan
rakyat pada umumnya. Apalagi, orang Belanda yangselalu mengutamakan betapa
pentingnya arti dokumentasi, segalahal ihwal dan kabar berita yang terjadi di
negeri leluhurnyamaupun di negeri jajahannya, selalu disimpan untuk
berbagaikeperluan.Dengan kata lain media masa telah dipandang sebagai
alatpencatat atau pendokumentasian segala peristiwa yang terjadi dinegeri kita
yang amat perlu diketahui oleh pemerintah pusat diNederland maupun di Nederlandsch
Indie
serta orang-orangBelanda pada umumnya. Dan apabila kita membuka kembali arsipmajalah
dan persuratkabaran yang terbit di Indonesia antara awalabad 20 sampai masuknya
Tentara Jepang, bisa kita diketahuibahwa betapa cermatnya orang Belanda
dalampendokumentasian ini.Berdasarkan ketentuan pasal 33 UU No. 40 tahun 1999
tentangpers, fungsi pers ialah sebagai media informasi, pendidikan,hiburan dan
kontrol sosial . Sementarapasal 6 UU Pers menegaskan bahwa pers nasional
melaksanakanperanan sebagai berikut:memenuhi hak masyarakat untukmengetahui
menegakkkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorongterwujudnya supremasi hukum
dan hak asasi manusia,serta menghormati kebhinekaanmengembangkan pendapat
umumberdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar melakukan.
pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yangberkaitan
dengan kepentingan umummemperjuangkan keadilandan kebenaran Berdasarkan fungsi
dan peranan persyang demikian, lembaga pers sering disebut sebagai pilar
keempatdemokrasi( the fourth estate) setelah lembaga legislatif, eksekutif,dan
yudikatif , serta pembentuk opini publik yang paling potensialdan efektif.
Fungsi peranan pers itu baru dapat dijalankan secraoptimal apabila terdapat
jaminan kebebasan pers dari pemerintah.Menurut tokoh pers, jakob oetama ,
kebebsan pers menjadi syaratmutlak agar pers secara optimal dapat melakukan
pernannya.Sulit dibayangkan bagaimana peranan pers tersebut dapatdijalankan
apabila tidak ada jaminan terhadap kebebasan pers.Pemerintah orde baru di
Indonesia sebagai rezim pemerintahnyang sangat membatasi kebebasan pers . hl
ini terlihat, dengankeluarnya Peraturna Menteri Penerangan No. 1 tahun
1984tentang Surat Izn Usaha penerbitan Pers (SIUPP), yang dalampraktiknya
ternyata menjadi senjata ampuh untuk mengontrol isiredaksional pers dan
pembredelan.
TUJUAN
Makalah ini bertujuan untuk memaparkan fungsi dan peranan persdi Indonesia,
berikut asal muasal kaum pers dan bagaimanakeberadaannya di Indonesia. Terlepas
dari segala konflik yangterjadi, pro dan kontra yang diungkapkan pa kaum pers,
tetap sajakelompok pers memiliki peranan dalam dunia informasi di Indonesia.
Sejarah Perkembangan PERS di Indonesia
A. Awal
Kemerdekaan (1942-1945)
Pers di awal
kemerdekaan dimulai pada saat jaman jepang. Dengan munculnya ide bahwa beberapa
surat kabar sunda bersatu untuk meneritkan surat kabar baru Tjahaja (Otista),
beberapa surat kabar di Sumatera dimatikan dan dibuat di Padang Nippo (melayu),
dan Sumatera Shimbun (Jepang-Kanji).
Dalam
kegiatan penting mengenai kenegaraan dan kebangsaan Indonesia, sejak persiapan
sampai pencetusan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, sejumlah wartawan pejuang
dan pejuang wartawan turut aktif terlibat di dalamnya. Di samping Soekarno, dan
Hatta, tercatat antara lain Sukardjo Wirjopranoto, Iwa Kusumasumantri, Ki Hajar
Dewantara, Otto Iskandar Dinata, G.S.S Ratulangi, Adam Malik, BM Diah, Sjuti
Melik, Sutan Sjahrir, dan lain-lain.
1. Setelah Indonesia
Merdeka/Orde Lama (1945-1959)
Penyebaran Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia
Penyebarluasan
tentang Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dilakukan oleh wartawan-wartawan
Indonesia di Domei, di bawah pimpinan Adam Malik. Berkat usaha
wartawan-wartawan di Domei serta penyiar-penyiar di radio, maka praktisi pada
bulan September 19945 seluruh wilayah Indonesia dan dunia luar dapat mengetahui
tentang Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.
RRI (Radio
Republik Indonesia) terbentuk pada tanggal 11 September 1945 atas prakasa
Maladi. Dalam usahanya itu Maladi mendapat bantuan dari rekan-rekan wartawan
lainnya, seperti Jusuf Ronodipuro, Alamsjah, Kadarusman, dan Surjodipuro. Pada
saat berdirinya, RRI langsung memiliki delapan cabang pertamanya, yaitu di
Jakarta, Bandung, Purwokerto, Yogyakarta, Surakarta, dan Surabaya.
Surat kabar
Republik I yang terbit di Jakarta adalah Nerita Indonesia, yang terbit pada
tanggal 6 September 1945. Surat kabar ini disebut pula sebagai cikal bakal Pers
nasional sejak proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia, perkembangan pers republic sangat pesat,
meskipun mendapat tekanan dari pihak penguasa peralihan Jepang dan
Sekutu/Inggris, dan juga adanya hambatan distribusi.
Setelah
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, di Sumatera dan sekitarnya, usaha
penyebarluasan berita dilakukan mula-mula berupa pamflet-pamflet, stensilan,
sampai akhirnya dicetak, dan disebar ke daerah-daerah yang terpencil.
Pusat-pusatnya ialah di Kotaraja (sekarang Banda Aceh), Sumatera Utara di Medan
dimana kantor berita cabang Sumatera juga ada di Medan, lalu Sumatera Barat di
Padang, Sumatera Selatan di Palembang. Selain itu, di Sumatera muncul surat
kabar-surat kabar kaum republik yang baru, di samping surat surat kabar yang
sudah ada berubah menjadi surat kabar Republik, dengan nama lama atau berganti
nama.
1. Setelah
Proklamasi Kemerdekaan RI
Setelah
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia di Sulawesi dan sekitarnya, kalangan
pers selalu mendapat tekanan-tekanan, seperti yang dialami Manai Sophiaan yang
mendirikan surat kabar Soeara Indonesia di Ujung Pandang. Di Manado dan
sekitarnya (Minahasa) tekanan dari pihak penguasa pendudukan selalu dialami
oleh kalangan pers. Di daerah terpencil, seperti Ternate yang merupakan daerah
yang pertama kali diduduki oleh tentara Sekutu, para pejuang di kalangan pers
tetap mempunyai semangat tinggi.
Setelah
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia di Jawa dan sekitarnya, pertumbuhan
pers paling subur, bila dibandingkan dengan daerah-daerah lain di wilayah RI
ini. Hal itu disebabkan jumlah wartawan yang lebih banyak dan juga karena pusat
pemerintahan RI ada di Jawa. Pusat-pusatnya, adalah di Jakarta, Bandung,
Semarang, Yogyakarta, Surakarta, Solo, dan Surabaya.
Sementara
itu, para wartawan dan penerbit sepakat untuk menyatukan barisan pers nasional,
karena selain pers sebagai alat perjuangan dan penggerak pembaangunan bangsa.
Kalangan pers sendiri masih harus memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi
masa kini dan masa mendatang. Untuk itulah, maka kalangan pers membutuhkan
wadah guna mempersatukan pendapat dan aspirasi mereka. Hal tersebut terwujud
pada tanggal 8-9 Februari 1946, dengan terbentuknya Persatuan Wartawan
Indonesia (PWI) di Solo atau Surakarta.
1. Setelah
Agresi Militer
Setelah
agresi militer Belanda 1 pada tanggal 21 Juli 1947, keadaan pers republik
bertambah berat dan sulit. Kegiatan penerbitan dan penyiaran waktu itu
mengalami pengekangan dan penekanan yang berat, karena pihak penguasa Belanda
bisa secara tiba-tiba langsung menyerbu ke kantor redaksi atau percetakan surat
kabat yang bersangkutan, sekaligus menangkap pemimpin redaksi maupun wartawan
surat kabar tersebut. Pihak penguasa Belanda mengusahakan penerditan non
republik dibantu oleh kaum separatis Pro Belanda. Usaha tersebut dilakukan
dengan tujuan untuk melancarkan propaganda sekaligus politik adu dombanya, yang
dapat menumbuhkan kebingungan dan kepanikan di kalangan masyarakat luas.
Sewaktu
pusat Pemerintahan RI pindah ke Yogyakarta, kantor berita Antara pusat turut
pindah di bawah pimpinan Adam Malik Batubara, dan KB Antara Jakarta menjadi
cabang yang dipimpin oleh Mochtar Lubis, Ibnu Muhammad Arifin, dan Wan Asa
Bafagih. Ini berakibat juga pindahnya sebagian tokoh-tokoh pers Republik ke
Pusat Pemerintahan RI yang baru tersebut.
Keadaan
Republik Indonesia bertambah suram lagi sewaktu pada tanggal 19 Desember 1948
penguasa Belanda berhasil menduduki kota Yogyakarta. Penguasa Belanda dan kaum
separatis pro Belanda semakin berani bertindak kekerasan dan melakukan
penahanan terhadap para pejuangdan kalangan pers (wartawan) Republik. Pada masa
itu jumlah wartawan sedikit, umumnya para wartawan tersebut ditangkap dan
dipenjarakan sebagai tahanan politik. Para wartawan yang berhasil lolos ada
yang keluar kota dan ada juga yang ikut bergerilya bersama TNI di pedalaman dan
di desa=desa terpencil. Meski begitu, mereka tetap mengusahakan penerbitan
berupa stensilan.
Usaha
penerbitan pers RI juga diramaikan oleh partisipasi pihak lain, seperti;
kalangan pers dari golongan peranakan Cina dan keturunan Arab, ditambah dari
pihak TNI di daerah-daerah tertentu dan yang terakhir adalah pemerintah RI sendiri
mengusahkan penerbitan dengan membantu pembiayaan usaha penerbitan pers oleh
kalangan pers (wartawan) Republik.
A. Masa Orde
Bru (1959-1998)
Di masa
demokrasi Liberal, tiap orang yang memiiki uang atau modal boleh menerbitkan
surat kabar atau majalah. Tidak diperlukan izin atau pengesahan dari siapapun.
Melalui surat kabar dan majalah ini orang boleh menyampaikan pendapat dan
perasaannya, sehingga banyak Koran dan majalah muncul di masa ini dan mereka
saling berlomba menerbitkan surat kabar dan majalah sekalipun namyak yang tidak
bisa bertahan untuk terus terbit dengan teratur.
Koran-koran
bekas milik RDV (Dinas Penerangan Belanda), setelah pengakuan kedaulatan
dialihkan ke tangan tenaga-tenaga Indonesia, Koran bekas RDV hidup jauh lebih
baik daripada Koran Indonesia yang ditangani langsung oleh orang Indonesia. Hal
ini antara lain disebabkan Koran milik RDV sewaktu dialihkan sudah mempunyai
aparat distribusi yang lengkap. Selain itu koran RDV mempunyai aparat
distribusi yang lengkap. Selain itu koran RDV mempunyai peralatan cetak yang
jauh lebih lengkap dan canggih dibandingkan dengan percetakan koran bangsa
Indonesia.
Matinya
majalah dan koran bermutu di masa Demokrasi Liberal kemungkinan besar
disebabkan oleh mismanajemen atau salah urus baik dibidang teknik redaksional,
teknis peralatan, keuangan, dan bernagai urusan perusahaan lainnya. Disamping
itu munculnya koran dan majalah yang isinya mengarah ke pornografi membuat
keadaan semakin buruk.
Di masa awal
pelaksanaan Demokrasi Terpimpin, surat kabar dan majalah yang tidak
bersedia ikut serta dalam gelombang Demokrasi Terpimpin harus menyingkir
atau disingkirkan. Semakin lama peaturan ini semakin ketat. Di Jakarta, keluar
larangan berpolitik dalam segala bentuk termasuk dalam bentuk tulis-menulis.
Khusus mengenai pers ada Sembilan ketentuan yang salah satunya adalah pers dan
alat-akat penyiaran lainnya dilarang melakukan penyiaran kegiatan politik yang
langsung dapat mempengaruhi haluan Negara, dan tidak bersumber pada badan
pemerintahan yang berwenang untuk itu.
SIT adalah
Surat Izin Terbit dan SIC adalah Surat Izin Cetak yang pada masa Demokrasi
Terpimpin sukar mendapatkannya. Semua penerbit pada tahun 1960 diwajibkan
mengajukan permohonan SIT, sebagai pengesahan dillakukannya kegiatan penyiaran.
Pada bagian bawah permohonan SIT tercantum 19 pasal pernyataan yang mengandung
janji penanggung jawab surat kabar tersebut yaitu jika ia diberi SIT akan
mendukung jawab surat kabar tersebut yaitu jika ia diberi SIT akan mendukung Manipol-Usdek
dan akan mematuhi pedoman yang telah dan akan dikeluarkan oleh penguasa.
Pernyataan ini dengan mudah dipergunakan oleh penguasa sebagai alat penekan
surat kabar.
PWI sebagai
satu-satunya organisasi wartawan yang diakui pemerintahdi masaDemokrasi
Terpimpin dikelola oleh wartawan-wartawan berpaham komunis dan yang bersimpati
pada paham ini. PKI berusaha menguasai PWI dengan sekuat tenaga karena melalui
PWI, SPS, dan Pancatunggal SIT dan SIC dikeluarkan. Dengan demikian dapat
menentukan siapa yang bisa diberi SIT dan SIC.
BPS
singkatan dari Badan Pendukung/Penyebar Soekarnoisme. Badan ini dibentuk
untuk menandingi organisasi yang berinduk pada PKI. Tokohnya yang terkenal
adalah Sajuti Melik BPS tidak menyetujui Nasakaom tetapi setuju dengan Nasasos
(Naionalis, Agama, Sosialis). Koran pendukung BPS harus bersedia memuat tulisan
Sajuti Melik sebagai usaha mengimbangi dan mengadakan perlawanan PKI. BPS
ditentang PKI dengan tuduhan BPS hendak mengadakan PWI tandingan. Sehingga
perang pena dan fitnah pun terjadi.
Sewaktu
menerbitkan Berita Yudha, Jenderal Ahmad Yani menyadari di masa
Demokrasi Terpimpin itu akan sangat membahayakan masyarakat apabila tidak ada
lagi pegangan dan hanya mendapat satu sumber berita. Saat itu hanya ada suara
dari PKI, karena itu perlu diambil alih dengan segera harian pendukung BPS
Berita Indonesia dan mengganti namanya Berita Yudha dengan motto: Untuk
Mempertinggi Ketahanan Revolusi Indonesia. Sedangkan Jenderal A. H Nasution
juga menerbitkan surat kabar bernama Angkatan Bersenjata dengan inti tujuan
yang sama.
Beberapa
factor penunjang keberhasilan PKI dalam bidang pers dan media massa yaitu:
1) Disiplin
kerja. Dengan disiplin kerja, mereka bersedia menyingkirkan
pendapat pribadi dengan patuh pada indtruksi atasan.
2) Jaminan Sosial. Mereka
mendapat jaminan dalam kehidupannya.
3) Hubungan dengan fungsionaris/tokoh partai. Hubungan
ini akan mempermudah control atas tiap anggota.
Sebagai
langkah awal dalam usaha merumuskan kehidupan pers nasional sesuai dengan dasar
Negara Pancasila dan UUD 1945, adalah dengan dikeluarkannya Ketetapan MPRS No.
XXXII/MPRS/1966 pada tanggal 6 Juli 1966. Kalangan pers menyambut keluarnya
ketetapan MPRS tersebut dengan pencetusan Deklarasi Wartawan Indonesia, yang
dihasilkan oleh konferensi Kerja PWI di Pasir Putih Jawa Timur pada tanggal
13-15 Oktober 1966.Setelah DPR berhasil merealisasikan UU No. 11/1966 sebagai
UU Pokok Pers pada tanggal 12 Desember 1966, masalah selanjutnya adalah
mengenai kesepakatan dalam penafsiran dari UU Pokok Pers tersebut, terutama
masalah fungsi, kewajiban dan hak per situ sendiri.Dalam usaha memantapkan
penafsiran serta pelaksaan UU Pokok Pers dalam praktiknya, amak dibentuklah
Dewan Pers. Dewan Pers merupakan pendamping pemerintah untuk bersama-sama
membina pertumbuhan dan perkembangan pers nasional. Selama masa 4 tahun pertama
pemerintahan Orde Baru, meski pemerintah menghadapi berbagai masalah stabilitas
dan rehabilitas i keamanan, politik pemerinta dan ekonomi, telah diisi dengan
langkah-langkah awal peletakan kerangka dasar bagi pembangunan pers
Pancasila.Tahap selanjutnya adalah tahap pemantapan menuju tahap pemapanan diri
dalam pers nasional. Pada tahap ini upaya yang dialkukan adalah penerapan
mekanisme interaksi positif antara pers, masyarakat dan pemerintah.
REFORMASI PERS SKARANG
-Masa Orde Baru
dan Era Reformasi
Pada masa pemerintahan Presiden
Soekarno dan masa pemerintahan Presiden Soeharto sangat dibatasi oleh
kepentingan pemerintah. Pers dipaksa untuk memuat setiap berita harus tidak
boleh bertentangan dengan pemerintah, di era pemerintahan Soekarno dan
Soeharto, kebebasan pers ada, tetapi lebih terbatas untuk memperkuat status
quo, ketimbang guna membangun keseimbangan antarfungsi eksekutif, legislatif,
yudikatif, dan kontrol publik (termasuk pers). Karenanya, tidak mengherankan
bila kebebasan pers saat itu lebih tampak sebagai wujud kebebasan (bebasnya)
pemerintah, dibanding bebasnya pengelola media dan konsumen pers, untuk
menentukan corak dan arah isi pers. Bagi Indonesia sendiri, pengekangan pemerintah terhadap pers di mulai tahun 1846, yaitu ketika pemerintah kolonial Belanda mengharuskan adanya surat izin atau sensor atas penerbitan pers di Batavia, Semarang, dan Surabaya. Sejak itu pula, pendapat tentang kebebasan pers terbelah. Satu pihak menolak adanya surat izin terbit, sensor, dan pembredelan, namun di pihak lain mengatakan bahwa kontrol terhadap pers perlu dilakukan.
Sebagai contoh adanya pembatasan terhadap pers dengan adanya SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) sesuai dengan Permenpen 01/1984 Pasal 33h. Dengan definisi ”pers yang bebas dan bertanggung jawab”, SIUPP merupakan lembaga yang menerbitkan pers dan pembredelan.
Terjadinya pembredelan Tempo, Detik, Editor pada 21 Juni 1994, mengisyaratkan ketidakmampuan sistem hukum pers mengembangkan konsep pers yang bebas dan bertanggung jawab secara hukum. Ini adalah contoh pers yang otoriter yang di kembangkan pada rezim orde baru.
Tak ada demokrasi tanpa kebebasan berpendapat. Kebebasan berpendapat merupakan salah satu hak paling mendasar dalam kehidupan bernegara. Sesuai Prinsip Hukum dan Demokrasi, bahwa perlindungan hukum dan kepastian hukum dalam menegakkan hukum perlu ada keterbukaan dan pelibatan peran serta masyarakat. Untuk itu, kebebasan pers, hak wartawan dalam menjalankan fungsi mencari dan menyebarkan informasi harus dipenuhi, dihormati, dan dilindungi. Hal ini sesuai dengan UUD 45 Pasal 28 tentang kebebasan berserikat, berkumpul dan berpendapat.
Suatu pencerahan datang kepada kebebasan pers, setelah runtuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998. Pada saat itu rakyat menginginkan adanya reformasi pada segala bidang baik ekonomi, sosial, budaya yang pada masa orde baru terbelenggu. Tumbuhnya pers pada masa reformasi merupakan hal yang menguntungkan bagi masyarakat. Kehadiran pers saat ini dianggap sudah mampu mengisi kekosongan ruang publik yang menjadi celah antara penguasa dan rakyat. Dalam kerangka ini, pers telah memainkan peran sentral dengan memasok dan menyebarluaskan informasi yang diperluaskan untuk penentuan sikap, dan memfasilitasi pembentukan opini publik dalam rangka mencapai konsensus bersama atau mengontrol kekuasaan penyelenggara negara.
Peran inilah yang selama ini telah dimainkan dengan baik oleh pers Indonesia. Setidaknya, antusias responden terhadap peran pers dalam mendorong pembentukan opini publik yang berkaitan dengan persoalan-persoalan bangsa selama ini mencerminkan keberhasilan tersebut.
Setelah reformasi bergulir tahun 1998, pers Indonesia mengalami perubahan yang luar biasa dalam mengekspresikan kebebasan. Fenomena itu ditandai dengan munculnya media-media baru cetak dan elektronik dengan berbagai kemasan dan segmen. Keberanian pers dalam mengkritik penguasa juga menjadi ciri baru pers Indonesia.
Pers yang bebas merupakan salah satu komponen yang paling esensial dari masyarakat yang demokratis, sebagai prasyarat bagi perkembangan sosial dan ekonomi yang baik. Keseimbangan antara kebebasan pers dengan tanggung jawab sosial menjadi sesuatu hal yang penting. Hal yang pertama dan utama, perlu dijaga jangan sampai muncul ada tirani media terhadap publik. Sampai pada konteks ini, publik harus tetap mendapatkan informasi yang benar, dan bukan benar sekadar menurut media. Pers diharapkan memberikan berita harus dengan se-objektif mungkin, hal ini berguna agar tidak terjadi ketimpangan antara rakyat dengan pemimpinnya mengenai informasi tentang jalannya pemerintahan.
Sungguh ironi, dalam sistem politik yang relatif terbuka saat ini, pers Indonesia cenderung memperlihatkan performa dan sikap yang dilematis. Di satu sisi, kebebasan yang diperoleh seiring tumbangnya rezim Orde Baru membuat media massa Indonesia leluasa mengembangkan isi pemberitaan. Namun, di sisi lain, kebebasan tersebut juga sering kali tereksploitasi oleh sebagian industri media untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dengan mengabaikan fungsinya sebagai instrumen pendidik masyarakat. Bukan hanya sekedar celah antara rakyat dengan pemimpin, tetapi pers diharapkan dapat memberikan pendidikan untuk masyarakat agar dapat membentuk karakter bangsa yang bermoral. Kebebasan pers dikeluhkan, digugat dan dikecam banyak pihak karena berubah menjadi ”kebablasan pers”. Hal itu jelas sekali terlihat pada media-media yang menyajikan berita politik dan hiburan (seks). Media-media tersebut cenderung mengumbar berita provokatif, sensasional, ataupun terjebak mengumbar kecabulan.
Ada hal lain yang harus diperhatikan oleh pers, yaitu dalam membuat informasi jangan melecehkan masalah agama, ras, suku, dan kebudayaan lain, biarlah hal ini berkembang sesuai dengan apa yang mereka yakini.
Sayangnya, berkembangnya kebebasan pers juga membawa pengaruh pada masuknya liberalisasi ekonomi dan budaya ke dunia media massa, yang sering kali mengabaikan unsur pendidikan. Arus liberalisasi yang menerpa pers, menyebabkan Liberalisasi ekonomi juga makin mengesankan bahwa semua acara atau pemuatan rubrik di media massa sangat kental dengan upaya komersialisasi. Sosok idealisme nyaris tidak tercermin dalam tampilan media massa saat ini. Sebagai dampak dari komersialisasi yang berlebihan dalam media massa saat ini, eksploitasi terhadap semua hal yang mampu membangkitkan minat orang untuk menonton atau membaca pun menjadi sajian sehari-hari.
Ide tentang kebebasan pers yang kemudian menjadi sebuah akidah pelaku industri pers di Indonesia. Ada dua pandangan besar mengenai kebebasan pers ini. Satu sisi, yaitu berlandaskan pada pandangan naturalistik atau libertarian, dan pandangan teori tanggung jawab sosial.
Menurut pandangan libertarian, semenjak lahir manusia memiliki hak-hak alamiah yang tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun, termasuk oleh pemerintahan. Dengan asumsi seperti ini, teori libertarian menganggap sensor sebagai kejahatan. Hal ini dilandaskan pada tiga argumen. Pertama, sensor melanggar hak alamiah manusia untuk berekspresi secara bebas. Kedua, sensor memungkinkan tiran mengukuhkan kekuasaannya dengan mengorbankan kepentingan orang banyak. Ketiga, sensor menghalangi upaya pencarian kebenaran. Untuk menemukan kebenaran, manusia membutuhkan akses terhadap informasi dan gagasan, bukan hanya yang disodorkan kepadanya.
Kebebasan pers sekarang yang dipimpin presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, negara dan bangsa kita membutuhkan kebebasan pers yang bertanggung jawab (free and responsible press). Sebuah perpaduan ideal antara kebebasan pers dan kesadaran pengelola media massa (insan pers), khususnya untuk tidak berbuat semena-mena dengan kemampuan, kekuatan serta kekuasaan media massa (the power of the press). Di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, kebebasan pers Indonesia idealnya dibangun di atas landasan kebersamaan kepentingan pengelola media, dan kepentingan target pelayanannya, tidak peduli apakah mereka itu mewakili kepentingan negara (pemerintah), atau kepentingan rakyat.
Dalam kerangka kebersamaan kepentingan dimaksud, diharap aktualisasi kebebasan pers nasional kita, tidak hanya akan memenuhi kepentingan sepihak, baik kepentingan pengelola (sumber), maupun teratas pada pemenuhan kepentingan sasaran (publik media). Pers harus tanggap terhadap situasi publik, karena ketidakberdayaan publik untuk mengapresiasikan pendapatnya kepada pemimpin pers harus berperan sebagai fasilitator untuk dapat mengapresiasikan apa yang diinginkan.
Reformasi
Pada massa
reformasi, pers bebas tanpa batasan pembaruan izin. SIUPP dihapus sejalan
dengan Departemen Penerangan yang ditiadakan lagi. Dengan kebebasan pers yang diberikan
negara, pers berkembang pesat dari segi ekonomi maupun politik hingga mencapai
segementasi pasar kecil sekalipun.
Tidak adanya SIUPP berarti siapa saja bisa membuat sebuah media massa. Ajaran keseimbangan antara kebebasan dengan tanggung jawab pers di era reformasi tercermin didalam UU Pers. Dalam p[raktiknya oleh sebagian penerbitan pers justru kebebasan lebih diutamakan dari pada tanggung jawabnya. Akibatnya ada sebagian penerbitan pe rs terjebak dalam atribsi pers kuning (yellow pers), pers pop (popular pers) dan pers ”kebablasan”. Namun sebagian lagi tetap mengutamakan mutu jurnalistik.
Mengenai kebijakan media didalam sistem pers pada zaman reformasi sepenuhnya berada di tangan pemilik media. Kebijakan komunikasi dan pemerintah lebih berupa imbauan kepada media agar mematuhi rambu-rambu etika dan hukum yang berlaku.
Dalam sistem pers otoriter (Orde baru dan Orde Lama) keredaksian ditentukan oleh pemerintah. Sedangkan kebijakan Redaksi harus sesuai dengan kebijakan komunikasi pemerintah.
Fenomena pers bebas muncul semenjak keberadaan era reformasi dan terutama semenjak berlakunya UU No 40 Tahun 1999 tentang pers. Baik secara tegas maupun secara implisit semua konsep pers bebas itu terdapat didalam sejumlah undang-undang baru antara lain, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No 40 Tahun 1999 tentang pers.
Dengan masuknya paradigma kebebasan pers yang sangat luas di Indonesia saat ini ternyata muncul akses yang cukup besar bahkan rawan. Terjadi banyak pelanggaran terhadap UU Pers dan terhadap kode etik jurnalistik baik oleh kalangan pers itu sendiri, maupun oleh masyarakat.
Tidak adanya SIUPP berarti siapa saja bisa membuat sebuah media massa. Ajaran keseimbangan antara kebebasan dengan tanggung jawab pers di era reformasi tercermin didalam UU Pers. Dalam p[raktiknya oleh sebagian penerbitan pers justru kebebasan lebih diutamakan dari pada tanggung jawabnya. Akibatnya ada sebagian penerbitan pe rs terjebak dalam atribsi pers kuning (yellow pers), pers pop (popular pers) dan pers ”kebablasan”. Namun sebagian lagi tetap mengutamakan mutu jurnalistik.
Mengenai kebijakan media didalam sistem pers pada zaman reformasi sepenuhnya berada di tangan pemilik media. Kebijakan komunikasi dan pemerintah lebih berupa imbauan kepada media agar mematuhi rambu-rambu etika dan hukum yang berlaku.
Dalam sistem pers otoriter (Orde baru dan Orde Lama) keredaksian ditentukan oleh pemerintah. Sedangkan kebijakan Redaksi harus sesuai dengan kebijakan komunikasi pemerintah.
Fenomena pers bebas muncul semenjak keberadaan era reformasi dan terutama semenjak berlakunya UU No 40 Tahun 1999 tentang pers. Baik secara tegas maupun secara implisit semua konsep pers bebas itu terdapat didalam sejumlah undang-undang baru antara lain, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No 40 Tahun 1999 tentang pers.
Dengan masuknya paradigma kebebasan pers yang sangat luas di Indonesia saat ini ternyata muncul akses yang cukup besar bahkan rawan. Terjadi banyak pelanggaran terhadap UU Pers dan terhadap kode etik jurnalistik baik oleh kalangan pers itu sendiri, maupun oleh masyarakat.
Sistem Pers
Indonesia
Berdasarkan filosofi model teori media oleh Ralph Lowenstein, tipe sistem pers Indonesia adalah Social Libertarian.
Tipe Social Libertarian adalah sistem dimana media massa bebas, tetapi ada kontrol minimal dari pemerintah untuk menghilangkan hambatan pada saluran komunikasi dan menjamin pelaksanaan semangat filosofi liberal.
Yang dimaksud dengan kontrol minimal dari pemerintah adalah, media massa memiliki kebebasan mutlak sebagai media yang menjalankan fungsinya dengan benar (Media Informasi, kontrol sosial, hiburan, pendidikan, kontrol politik), namun pemerintah membatasi dengan berkedudukan sebagai filter / penyaring (Komisi Penyiaran Indonesia).
Berdasarkan filosofi model teori media oleh Ralph Lowenstein, tipe sistem pers Indonesia adalah Social Libertarian.
Tipe Social Libertarian adalah sistem dimana media massa bebas, tetapi ada kontrol minimal dari pemerintah untuk menghilangkan hambatan pada saluran komunikasi dan menjamin pelaksanaan semangat filosofi liberal.
Yang dimaksud dengan kontrol minimal dari pemerintah adalah, media massa memiliki kebebasan mutlak sebagai media yang menjalankan fungsinya dengan benar (Media Informasi, kontrol sosial, hiburan, pendidikan, kontrol politik), namun pemerintah membatasi dengan berkedudukan sebagai filter / penyaring (Komisi Penyiaran Indonesia).
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Pers
Asal kata
jurnalistik itu sendiri adalah Journal atau Du Jour yang berarti hari, di mana
segala berita atau warga sehari termuat dalam lembaran yang tercetak. Karenanya
kemajuan teknologi sehingga ditemukan alat percetakan surat kabar dengan sistem
silinder (rotasi), maka istilah pers muncul.
Secara
etimologis, kata pers dalam bahasa Belanda, atau perss dalam
bahasa Inggris, berasal dari bahasa Latin, yaitu pressaredari kata premere
yang berarti tekan atau cetak. Dalam pengertian umum,
hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan I.Taufik dalam bukunya Sejarah dan
Perkembangan Pers di Indonesia. Menurutnya, pers adalah suatu alat yang
terdiri dari dua lembar besi atau baja yang di antara kedua lembar tersebut
dapat diletakkan suatu barang (kertas), sehingga apa yang hendak ditulis atau
digambar akan tampak pada kertas tersebut dengan cara menekannya.
Dalam Ensiklopedia Nasional Indonesia jilid 13 disebutkan bahwa pers memiliki dua arti, yaitu arti luas da arti sempit. Dalam arti luas, pers adalah seluruh media baik elektronik maupun cetak yang menyampaikan laporan dalam bentuk fakta, ulasan, laporan, dan gambar kepada masyarakat luas secara regular. Dalam arti sempit, pers hanya terbatas media cetak seperti surat kabar harian, surat kabar mingguan, bulletin dan majalah. Secara yuridis formal, pengertian pers disebutkan dalam pasal 1 ayat (1) UU No.40 tahun 1999 tentang pers yang menjelaskan bahwa “pers adalah lembaga sosila dan wahana komunikasi massa yang melakukan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi, baik dalam bentuk tulisan, gambar, suara, suara dan gambar, data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, elektronik, dan segala jenis jalur yang tersedia”.
Dalam Ensiklopedia Nasional Indonesia jilid 13 disebutkan bahwa pers memiliki dua arti, yaitu arti luas da arti sempit. Dalam arti luas, pers adalah seluruh media baik elektronik maupun cetak yang menyampaikan laporan dalam bentuk fakta, ulasan, laporan, dan gambar kepada masyarakat luas secara regular. Dalam arti sempit, pers hanya terbatas media cetak seperti surat kabar harian, surat kabar mingguan, bulletin dan majalah. Secara yuridis formal, pengertian pers disebutkan dalam pasal 1 ayat (1) UU No.40 tahun 1999 tentang pers yang menjelaskan bahwa “pers adalah lembaga sosila dan wahana komunikasi massa yang melakukan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi, baik dalam bentuk tulisan, gambar, suara, suara dan gambar, data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, elektronik, dan segala jenis jalur yang tersedia”.
B.Fungsi
Pers
Dalam bab II pasal 3 ayat (1) UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers disebutkan bahwa “Pers mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.” Sedangkan pada ayat (2) disebutkan bahwa, “Pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi. Empat fungsi pers secara lebih jelas sebagai berikut :
1. Informasi (to inform)
Fungsi Pers sebagai media informasi adalah sarana untuk menyampaikan informasi secepatnya kepada masyarakat luas. Berbagai keinginan, aspirasi, pendapat, sikap, perasaan manusia bisa disebarkan melalui pers.
Penyampaian informasi tersebut dengan ketentuan bahwa informasi yang disampaikan harus memenuhi kriteria dasar yaitu aktual, akurat, faktual, menarik, penting benar, lengkap, jelas, jujur, adil, berimbang, relevan, bermanfaat, dan etis.
Dalam bab II pasal 3 ayat (1) UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers disebutkan bahwa “Pers mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.” Sedangkan pada ayat (2) disebutkan bahwa, “Pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi. Empat fungsi pers secara lebih jelas sebagai berikut :
1. Informasi (to inform)
Fungsi Pers sebagai media informasi adalah sarana untuk menyampaikan informasi secepatnya kepada masyarakat luas. Berbagai keinginan, aspirasi, pendapat, sikap, perasaan manusia bisa disebarkan melalui pers.
Penyampaian informasi tersebut dengan ketentuan bahwa informasi yang disampaikan harus memenuhi kriteria dasar yaitu aktual, akurat, faktual, menarik, penting benar, lengkap, jelas, jujur, adil, berimbang, relevan, bermanfaat, dan etis.
2.
Pendidikan (to educated)
Fungsi penidikan ini antara lain membedakan pers sebagai lembaga kemasyarakatan dengan lembaga kemasyarakatan yang lain. Sebagai lembaga ekonomi, pers memang dituntut berorientasi komersial untuk memperoleh keuntungan finansial.
Pers sebagai media pendidikan ini mencakup semua sektor kehidupan baik ekonomi, politik, sosial, maupun budaya. Pers memiliki tanggung jawab besar dalam memberikan pendidikan politik sehingga masyarakat memahami model Pilkada yang baru kali pertama digelar.
Fungsi penidikan ini antara lain membedakan pers sebagai lembaga kemasyarakatan dengan lembaga kemasyarakatan yang lain. Sebagai lembaga ekonomi, pers memang dituntut berorientasi komersial untuk memperoleh keuntungan finansial.
Pers sebagai media pendidikan ini mencakup semua sektor kehidupan baik ekonomi, politik, sosial, maupun budaya. Pers memiliki tanggung jawab besar dalam memberikan pendidikan politik sehingga masyarakat memahami model Pilkada yang baru kali pertama digelar.
3. Hiburan (to
entertaint)
Sebagai media hiburan, pers harus mampu memerankan dirinya sebagai wahana rekreasi yang menyenangkan sekaligus yang menyehatkan bagi semua lapisan masyarakat.
Hiburan disini bukan dalam arti menyajikan tulisan-tulisan atau informasi-informasi mengenai jnis-jenis hiburan yang disenangi masyarakat. Akan tetapi menghibur dalam arti menarik pembaca dengan menyuguhkan hal-hal yang ringan di antara sekian banyak informasi berita yang berat dan serius.
Sebagai media hiburan, pers harus mampu memerankan dirinya sebagai wahana rekreasi yang menyenangkan sekaligus yang menyehatkan bagi semua lapisan masyarakat.
Hiburan disini bukan dalam arti menyajikan tulisan-tulisan atau informasi-informasi mengenai jnis-jenis hiburan yang disenangi masyarakat. Akan tetapi menghibur dalam arti menarik pembaca dengan menyuguhkan hal-hal yang ringan di antara sekian banyak informasi berita yang berat dan serius.
4. Kontrol
Sosial (Social control)
Pers sebagai
alat kontrol sosial adalah menyampaikan (memberitakan) peristiwa buruk, keadaan
yang tidak pada tempatnya dan ihwal yang menyalahi aturan, supaya peristiwa
buruk tersebut tidak terulang lagi. Selain itu kesadaran berbuat baik serta
mentaati peraturan semakin inggi, Hal ini juga demin menegakkan kebenaran dan
keadilan.
Dengan fungsi kontrol sosial yang dimilikinya tersebut pers disebut sebagai institusi sosial yang tak pernah tidur.
C. Perkembangan Pers di Indonesia
1. Pers di Era Kolonial (tahun 1744 sampai awal abad 19)
Era kolonial memiliki batasan hingga akhir abad 19. Pada mulanya pemerintahan kolonial Belanda menerbitkan surat kabar berbahsa belanda kemudian masyarakat Indo Raya dan Cian juga menerbitkan suratkabar dalam bahasa Belanda, Cina dan bahasa daerah.
Dalam era ini dapat diketahui bahwa Bataviasche Nuvelles en politique Raisonnementen yang terbit pada Agustus 1744 di Batavia (Jakarta) merupakan surat kabar pertama di Indonesia. Namun pada Juni 1776 surat kabar ini dibredel. Sampai pertengahan abad 19, setidaknya ada 30 surat kabar yang dterbitkan dalam bahasa Belanda, 27 suratkabar berbahasa Indonesia dan satu surat kabar berbahasa Jawa.
Dengan fungsi kontrol sosial yang dimilikinya tersebut pers disebut sebagai institusi sosial yang tak pernah tidur.
C. Perkembangan Pers di Indonesia
1. Pers di Era Kolonial (tahun 1744 sampai awal abad 19)
Era kolonial memiliki batasan hingga akhir abad 19. Pada mulanya pemerintahan kolonial Belanda menerbitkan surat kabar berbahsa belanda kemudian masyarakat Indo Raya dan Cian juga menerbitkan suratkabar dalam bahasa Belanda, Cina dan bahasa daerah.
Dalam era ini dapat diketahui bahwa Bataviasche Nuvelles en politique Raisonnementen yang terbit pada Agustus 1744 di Batavia (Jakarta) merupakan surat kabar pertama di Indonesia. Namun pada Juni 1776 surat kabar ini dibredel. Sampai pertengahan abad 19, setidaknya ada 30 surat kabar yang dterbitkan dalam bahasa Belanda, 27 suratkabar berbahasa Indonesia dan satu surat kabar berbahasa Jawa.
2. Pers di masa
Penjajahan Jepang (1942 - 1945)
Era ini berlangsung dari 1942 hingga 1945. orang-orang surat kabar (pers) Indonesia banyak yang berjuang tidak dengan ketajaman penanya melainkan dengan jalan lain seperti organisasi keagamaan , pendidikan dan politik. Hal ini menunjukkan bahwa di masa Jepang pers Indonesia tertekan. Surat kabar yang beredar pada zaman penjajahan Belanda dilarang beredar. Pada era ini pers Indonesia mengalami kemajuan dalam hal teknis namun juga mulai diberlakukannya izin penerbitan pers.
Selain itu Jepang juga mendirikan Jawa Shinbun Kai dan cabang kantor berita Domei dengan menggabungkan dua kantor berita yang ada di Indonesia yakni Aneta dan Antara.
Selama masa ini, terbit beberapa media (harian), yaitu: Asia Raya di Jakarta, Sinar Baru di Semarang, Suara Asia di Surabaya, Tjahaya di Bandung
Era ini berlangsung dari 1942 hingga 1945. orang-orang surat kabar (pers) Indonesia banyak yang berjuang tidak dengan ketajaman penanya melainkan dengan jalan lain seperti organisasi keagamaan , pendidikan dan politik. Hal ini menunjukkan bahwa di masa Jepang pers Indonesia tertekan. Surat kabar yang beredar pada zaman penjajahan Belanda dilarang beredar. Pada era ini pers Indonesia mengalami kemajuan dalam hal teknis namun juga mulai diberlakukannya izin penerbitan pers.
Selain itu Jepang juga mendirikan Jawa Shinbun Kai dan cabang kantor berita Domei dengan menggabungkan dua kantor berita yang ada di Indonesia yakni Aneta dan Antara.
Selama masa ini, terbit beberapa media (harian), yaitu: Asia Raya di Jakarta, Sinar Baru di Semarang, Suara Asia di Surabaya, Tjahaya di Bandung
3. Pers
dimasa Orde Lama atau Pers Terpimpin (1957 - 1965)
Lebih kurang 10 hari setelah Dekrit Presiden RI menyatakan kembali ke UUD 1945, tindakan tekanan pers terus berlangsung, yaitu pembredelan terhadap kantor berita PIA dan surat kabar Republik, Pedoman, Berita Indonesia, dan Sin Po dilakukan oleh penguasa perang Jakarta. Hal ini tercermin dari pidato Menteri Muda Penerangan Maladi dalam menyambut HUT Proklamasi Kemerdckaan RI ke-14, antara lain: “Hak kebebasan individu disesuaikan dengan hak kolektif seluruh bangsa dalam melaksanakan kedaulatan rakyat. Hak berpikir, menyatakan pendapat, dan memperoleh penghasilan sebagaimana dijamin UUD 1945 harus ada batasnya: keamanan negara, kepentingan bangsa, moral dan kepribadian Indonesia, serta tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa”.
Awal tahun 1960 penekanan kebebasan pers diawali dengan peringatan Menteri Muda Maladi bahwa “langkah-langkah tegas akan dilakukan terhadap surat kabar, majalah-majalah, dan kantor-kantor berita yang tidak menaati peraturan yang diperlukan dalam usaha menerbitkan pers nasional”. Masih tahun 1960 penguasa perang mulai mengenakan sanksi-sanksi perizinan terhadap pers.
Tahun 1964 kondisi kebebasan pers makin buruk: digambarkan oleh E.C. Smith dengan mengutip dari Army Handbook bahwa Kementerian Penerangan dan badan-badannya mengontrol semua kegiatan pers. Perubahan ada hampir tidak lebih sekedar perubahan sumber wewenang, karena sensor tetap ketat dan dilakukan secara sepihak.
Lebih kurang 10 hari setelah Dekrit Presiden RI menyatakan kembali ke UUD 1945, tindakan tekanan pers terus berlangsung, yaitu pembredelan terhadap kantor berita PIA dan surat kabar Republik, Pedoman, Berita Indonesia, dan Sin Po dilakukan oleh penguasa perang Jakarta. Hal ini tercermin dari pidato Menteri Muda Penerangan Maladi dalam menyambut HUT Proklamasi Kemerdckaan RI ke-14, antara lain: “Hak kebebasan individu disesuaikan dengan hak kolektif seluruh bangsa dalam melaksanakan kedaulatan rakyat. Hak berpikir, menyatakan pendapat, dan memperoleh penghasilan sebagaimana dijamin UUD 1945 harus ada batasnya: keamanan negara, kepentingan bangsa, moral dan kepribadian Indonesia, serta tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa”.
Awal tahun 1960 penekanan kebebasan pers diawali dengan peringatan Menteri Muda Maladi bahwa “langkah-langkah tegas akan dilakukan terhadap surat kabar, majalah-majalah, dan kantor-kantor berita yang tidak menaati peraturan yang diperlukan dalam usaha menerbitkan pers nasional”. Masih tahun 1960 penguasa perang mulai mengenakan sanksi-sanksi perizinan terhadap pers.
Tahun 1964 kondisi kebebasan pers makin buruk: digambarkan oleh E.C. Smith dengan mengutip dari Army Handbook bahwa Kementerian Penerangan dan badan-badannya mengontrol semua kegiatan pers. Perubahan ada hampir tidak lebih sekedar perubahan sumber wewenang, karena sensor tetap ketat dan dilakukan secara sepihak.
4. Pers di
era demokrasi Pancasila dan Orde lama
Awal masa kepemimpinan pemerintahan Orde Baru bahwa akan membuang jauh-jauh praktik demokrasi terpimpin dan mengganti demokrasi Pancasila. Pernyataan ini membuat semua tokoh bangsa Indonesia menyambut dengan antusias sehingga lahirlah istilah pers Pancasila.
Pemerintah Orde Baru sangat menekankan pentingnya pemahaman tentang pers pancasila. Dalam rumusan Sidang Pleno XXV Dewan Pers (Desember 1984), pers pancasila adalah pers Indonesia dalam arti pers yang orientasi, sikap dan tingkab lakunya didasarkan nilai-nilai pancasila dan UUD’45 Hakikat pers pancasila adalah pers yang sehat, yakni pers yang bebas dan bertanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan objektif, penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif.
Masa “bulan madu” antara pers dan pemerintah ketika dipermanis dengan keluarnya Undang-Undang Pokok Pers (UUPP) Nomor II tahun 1966, yang dijamin tidak ada sensor dan pembredelan, serta penegasan bahwa setiap warga negara mempunyai hak untuk menerbitkan pers yang bersifat kolektif dan tidak diperlukan surat ijin terbit. Kemesraan ini hanya berlangsung kurang lebih delapan tahun karena sejak terjadinya “Peristiwa Malari” (Peristiwa Lima Belas Januari 1974), kebebasan pers mengalami set-back (kembali seperti zaman Orde Lama).
Awal masa kepemimpinan pemerintahan Orde Baru bahwa akan membuang jauh-jauh praktik demokrasi terpimpin dan mengganti demokrasi Pancasila. Pernyataan ini membuat semua tokoh bangsa Indonesia menyambut dengan antusias sehingga lahirlah istilah pers Pancasila.
Pemerintah Orde Baru sangat menekankan pentingnya pemahaman tentang pers pancasila. Dalam rumusan Sidang Pleno XXV Dewan Pers (Desember 1984), pers pancasila adalah pers Indonesia dalam arti pers yang orientasi, sikap dan tingkab lakunya didasarkan nilai-nilai pancasila dan UUD’45 Hakikat pers pancasila adalah pers yang sehat, yakni pers yang bebas dan bertanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan objektif, penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif.
Masa “bulan madu” antara pers dan pemerintah ketika dipermanis dengan keluarnya Undang-Undang Pokok Pers (UUPP) Nomor II tahun 1966, yang dijamin tidak ada sensor dan pembredelan, serta penegasan bahwa setiap warga negara mempunyai hak untuk menerbitkan pers yang bersifat kolektif dan tidak diperlukan surat ijin terbit. Kemesraan ini hanya berlangsung kurang lebih delapan tahun karena sejak terjadinya “Peristiwa Malari” (Peristiwa Lima Belas Januari 1974), kebebasan pers mengalami set-back (kembali seperti zaman Orde Lama).
5. Pers di
masa pasca Reformasi
Pada tanggal 21 Mei 1998 orde baru tumbang dan mulailah era reformasi. Tuntutan reformasi bergema ke semua sektor kehidupan, termasuk sektor kehidupan pers. Selama rezim orde lama dan ditambah dengan 32 tahun di bawah rezim orde baru, pers Indonesia tidak berdaya karena senantiasa ada di bawah bayang-bayang ancaman pencabutah surat izin terbit.
Sejak masa reformasi tahun 1998, pers nasional kembali menikmati kebebasan pers. Hal ini sejalan dengan alam reformasi, keterbukaan, dan demokrasi yang diperjuangkan rakyat Indonesia. Akibatnya, awal reformasi banyak bermunculan penerbitan pers atau koran, majalah, atau tabloid baru. Di Era reformasi pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers. Hal ini disambut gembira dikalangan pers, karena tercatat beberapa kemajuan penting dibanding dengan undang-undang sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Pers (UUPP).
Dalam Undang-Undang ini, dengan tegas dijamin adanya kemerdekaan pers sebagai hak asasi warga negara (pasal 4). Itulah sebabnya mengapa tidak lagi disinggung perlu tidaknya surat ijin terbit, yaitu terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, dan pelarangan penyiaran sebagaimana tercantum dalam pasal 4 ayat 2.
Pada tanggal 21 Mei 1998 orde baru tumbang dan mulailah era reformasi. Tuntutan reformasi bergema ke semua sektor kehidupan, termasuk sektor kehidupan pers. Selama rezim orde lama dan ditambah dengan 32 tahun di bawah rezim orde baru, pers Indonesia tidak berdaya karena senantiasa ada di bawah bayang-bayang ancaman pencabutah surat izin terbit.
Sejak masa reformasi tahun 1998, pers nasional kembali menikmati kebebasan pers. Hal ini sejalan dengan alam reformasi, keterbukaan, dan demokrasi yang diperjuangkan rakyat Indonesia. Akibatnya, awal reformasi banyak bermunculan penerbitan pers atau koran, majalah, atau tabloid baru. Di Era reformasi pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers. Hal ini disambut gembira dikalangan pers, karena tercatat beberapa kemajuan penting dibanding dengan undang-undang sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Pers (UUPP).
Dalam Undang-Undang ini, dengan tegas dijamin adanya kemerdekaan pers sebagai hak asasi warga negara (pasal 4). Itulah sebabnya mengapa tidak lagi disinggung perlu tidaknya surat ijin terbit, yaitu terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, dan pelarangan penyiaran sebagaimana tercantum dalam pasal 4 ayat 2.
Pada masa
reformasi, Undang-Undang tentang pers No. 40 1999, maka pers nasional
melaksanakan peranan sebagai berikut:
- Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan informasi.
- Menegakkan nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan.
- Mengembangkan pendapat umum berdasar informasi yang tepat, akurat, dan benar.
- Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.
- Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Dalam
mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai hak
tolak. Tujuannya agar wartawan dapat melindungi sumber informasi, dengan cara
menolak menyebutkan identitas sumber informasi. Hal ini digunakan jika wartawan
dimintai keterangan pejabat penyidik atau dimintai mnejadi saksi di pengadilan.