perkembangan pers orde lama
Lebih kurang 10 hari setelah
Dekrit Presiden RI yang menyatakan kembali ke UUD 1945, tindakan tekanan pada
pers terus berlangsung, yaitu pembrei delan terhadap Kantor berita PIA dan Surat Kabar Republik, Pedoman, Berita Indonesia, dan Sin po yang dilakukan oleh penguasa
perang Jakarta.
Upaya untuk membataasi kebebasan
pers itu tercermin dari pidato Menteri Muda Penerangan Maladi ketika menyambut HUT
Proklamasi Kemerdekaan RI ke-14, antara lain ia menyatakan:...hak kebebasan individu disesuaikan dengan
baik kolektif seluruh bangsa dalam melaksanakan kedaulatan rakyat. Hak
berfikir, menyatakan pendapat, dan memperoleh penghasilan sebagaimana yang
dijamin Undang-Undang Dasar 1945 harus ada batasnya: keamanan negara,
kepentingan bangsa, moral dan kepribadian Indonesia, serta tanggung jawab
kapada Tuhan Yang Maha Esa”.
Pada awal 1960, penekanan pada
kebebasan pers diawali dengan peringatan Menteri Muda Penerangan Maladi bahwa “langkah-langkah tegas
akan dilakukan terhadap surat kabar, majalah-majalah, dan kantor-kantor berita
yang tidak menaati peraturan yang mulai mengenakan sanksi-sanksi perizinan terhadap
pers. Demi kepentingan pemeliharaan ketertiban umum dan ketenangan, penguasa
perang mencabut izin terbit Harian
Republik.
Memasuki tahun 1964 kondisi
kebebasan pers semakin memburuk: hal ini digambarkan oleh E.C Smith dengan mengutip dari Army Handbook bahwa Kementrian
Penerbangan dan badan-badannya mengontrol semua kegiatan pers. Perubahan yang
ada hampir-hampir tidak lebih daru sekedar perubahan sumber wewenang karena
sensor tetap ketat dan dilakukan secara sepihak.
Berdasarkan uraian di atas,
tindakan – tidakan penekanan terhadap kemerdekaan pers oleh penguasa Orde Lama
bertambah bersamaan dengan meningkatnya ketegangan dalam pemerintahan. Tindakan
– tindakan penekanan terhadap kebebasan pers merosot ketika ketegangan dalam
pemerintahan menurun. Lebih-lebih setelah percetakan – percetakan diambil alih
oleh pemerintahan dan para wartawan diwajibkan untuk berjanji mendukung politik
pemerintahan, sehingga sangat sedikit pemerintahan melakukan tindakan penekanan
kepada pers.
Tindakan pembatasan terhadap
kemerdekaan pers selama tahun 1959 sama arahnya dengan tahun-tahun sebelumnys.
Dengan jumlah tindakan sebanyak 73 kali. Selama tahun 1960 terjadi tiga kali
pencabutan izin terbit, sedangkan pada tahun 1961 mencapai 13 kali. Rincian
tindakan penekanan atau tindakan antipers selama 14 tahun sejak Mei 1952 sampai
dengan Desember 1965, menurut catatan Edward
C. Smith mencapai 561 tindakan.
Pemerintah menekankan bahwa
fungsi utama pers ialah menyokong tujuan revolusi dan semua surat kabar menjadi
kabar juru bicara resmi pemerintah. “Hal ini diungkapkan Smith berdasarkan pandangan presiden
Soekarno ketika berpidato di muka
rapat umum HUT ke-19 PWI, yang dimuat oleh New
York Times, antara lain: “....Saya dengan tegas menyatakan sekarang bahwa dalam
suatu revolusi tidak boleh ada kebebasan pers. Hanya pers yang mendukung
revolusi yang dibolehkan hidup”, katanya. “Pers yang bermusuhan terhadap
revolusi harus disingkirkan”.
Sumber: Buku
Pendidikan Kewarganegaraan.
Budiyanto. Penerbit erlangga.
0 komentar:
Posting Komentar